Rabu, 09 Desember 2009

Pengorbanan di Idul Qurban

Edisi ke-4
Pimpinan Editor : Oleh Ruhyana, S.Ag
Team Editor : - Ratna
-Mutiara
-Khoerul Anwarudin
-Elis
MAKANA IDUL ADHA

‘Idul Adha memiliki makna yang penting dalam kehidupan. Makna ini perlu kita renungkan dalam-dalam dan selalu kita kaji ulang agar kita lulus dari berbagai cobaan Allah. Makna ‘Idul Adha tersebut :
1. Menyadari kembali bahwa makhluk yang namanya manusia ini adalah kecil belaka, betapapun berbagai kebesaran disandangnya. Inilah makna kita mengumandangkan takbir : Allahu akbar !
2. Menyadari kembali bahwa tiada yang boleh di-Tuhankan selain Allah. Menuhankan selain Allah bukanlah semata-mata menyembah berhala seperti di zaman jahiliah. Di zaman globalisasi ini orang dapat menuhankan tokoh (individu), lebih-lebih lagi si Tokoh itu sempat menjadi pucuk pimpinan partainya, menjadi presiden/wakil presiden, atau ketua lembaga perwakilan rakyat. Orang sekarang juga cenderung menuhankan politik dan ekonomi. Politik adalah segala-galanya dan ekonomi adalah tujuan hidupnya yang sejati. Bahkan HAM (Hak Asasi Manusia) menjadi acuan utama segala gerak kehidupan , sementara HAT (Hak Asasi Tuhan) diabaikan. Inilah makna kita kumandangkan kalimah tauhid : La ilaha illallah !
3. Menyadari kembali bahwa pada hakikatnya yang memiliki puja dan puji itu hanyalah Allah. Maka alangkah celakanya orang yang gila puja dan puji, sehingga kepalanya cepat membesar, dadanya melebar, dan hidungnya bengah, bila dipuji orang lain. Namun segera naik pitam, wajah merah, dan jantung berdetak melambung, bila ada orang yang mencela ,mengkritik, dan mengoreksinya. Inilah makna kita kumandangkan tahmid : Wa lillahil-hamd !
4. Menyadari kembali bahwa manusia ini ibarat sedang melancong atau bepergian, yang suatu saat rindu untuk pulang ke tempat tinggal asal, yakni tempat yang mula-mula dibangun rumah ibadah bagi manusia, Ka’bah, Baitullah. Inilah salah satu makna bagi yang istita’ah (berkemampuan) tidak menunda-nunda lagi berhaji ke Baitullah. Di sini pula manusia disadarkan kembali bahwa pada hakikatnya manusia itu satu keluarga dalam ikatan satu keimanan. Siaopa pun dia dari bangsa apapun adalah saudara bila ia mukmin atau muslim. Tetapi, bila seseorang itu kafir adalah bukan saudara kita meskipun dia lahir dari rahim ibu yang sama. Maka orang yang pulang dari haji hendaknya menjadi uswah hasanah bagi warga sekitarnya, tidak membesar-besarkan perbedaan yang dimiliki sesama muslim, terutama dalam hal yang disebut furu’iyah.
5. Menyadari kembali bahwa segala nikmat yang diberikan Allah pada hakikatnaya adalah sebagai cobaan atau ujian. Apabila nikmat itu diminta kembali oleh yang memberi , maka manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Hari ini jadi konglomerat, esok bisa jadi melarat dengan hutang bertumpuk jadi karat. Sekarang berkuasa, lusa bisa jadi hina tersia-sia oleh massa. Kemaren jadi kepala kantor dengan mobil Timor, entah kapan, mungkin bisa jadi bahan humor karena naik sepeda bocor. Sedang nikmat yang berupa harta, hendaknya kita ikhlas untuk berinfaq di jalan Allah, seperti untuk ber-udhiyah (berqurban).
6. Percayalah, dalam hal harta apabila kita ikhlas di jalan Allah, niscaya Allah akan membalasnya dengan berlipat ganda. Tetapi, jika kita justru kikir, pelit, tamak, bahkan rakus, tunggulah kekurangan, kemiskinan, dan kegelisahan hati selalu menghimpitnya.
Akhirnya, semoga ‘Idul Adha dengan berbagai ibadah yang kita laksanakan sekarang ini dapat membangunkan kembali tidur kita . Kemudian, kita berihtiar lagi sekuat tenaga untuk memperbanyak amal saleh sebagai pelebur amal-amal buruk selama ini. Amin !

QURBAN
Pada prinsipnya, berkurban itu hanya disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah T dan para sahabatnya, mereka berkurban atas nama diri mereka dan keluarga mereka. Adapun apa yang dikira oleh sebagian orang awam bahwa berkurban hanya bagi orang yang sudah mati saja, adalah tidak ada dasarnya. Berkurban atas nama orang yang sudah mati ada tiga macam:
Pertama: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati dengan diikutkan kepada orang yang masih hidup. Seperti: bila seseorang berkurban atas nama dirinya sendiri dan keluarganya, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Dasarnya: kurban yang dilakukan oleh Rasulullah atas nama diri beliau dan ahli baitnya, padahal diantara mereka ada yang sudah mati.
Kedua: Menyembelih kurban atas nama orang yang sudah mati, untuk melaksanakan wasiatnya. Dasarnya: “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 181)
Ketiga: Menyembelih kurban dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang sudah mati; hal ini boleh. Dan para fuqaha’ madzhab Hambali telah menegaskan bahwa pahalanya sampai kepada orang yang sudah mati dan bermanfaat baginya, dikiaskan kepada sedekah untuk orang yang sudah mati.
Namun, kami tidak berpandangan bahwa mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati termasuk sunnah, karena Nabi tidak pernah berkurban khusus atas nama orang yang telah mati; tidak pernah berkurban atas nama paman beliau Hamzah, padahal dia adalah orang yang paling dihormatinya, tidak pernah pula berkurban atas nama anak-anaknya yang sudah mati lebih dahulu, dan tidak pernah pula berkurban atas nama istrinya Khadijah, padahal dia istrinya yang tercinta. Tidak pernah juga diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat, semasa beliau, menyembelih kurban atas nama seseorang dari kerabatnya yang sudah mati.
Dan kami berpendapat bahwa tidak benar apa yang dilakukan sebagian orang, yaitu: menyembelih kurban setahun setelah wafatnya seseorang dengan meyakini bahwa tidak boleh ada orang lain yang disertakan dalam pahalanya; atau menyembelih binatang sebagai sedekah bagi orang yang sudah mati, atau berdasarkan wasiatnya, sementara mereka tidak menyembelih kurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarganya. Andaikata mereka tahu bahwa apabila seseorang menyembelih kurban dari harta kekayaannya atas nama dirinya sendiri dan juga keluarganya telah mencakup keluarganya yang hidup maupun yang telah mati, niscaya mereka tidak berpali1ing dari sunnah ini kepada perbuatan mereka itu.
LARANGAN BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN
Jika seseorang berniat hendak berkurban dan telah masuk bulan Dzulhijjah, maka dilarang baginya mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku, atau kulitnya sampai dia menyembelih binatang kurbannya. Karena diriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa Nabi telah bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari bulan Dzulhijjah dan seseorang di antara kamu hendak berkurban; maka supaya menahan diri terhadap rambut dan kukunya.” (HR. Imam Ahmad dan Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan; “Maka jangan menyentuh sesuatu dari rambut atau pun kulitnya sehingga ia menyembelih binatang kurbannya.”
Dan jika berniat menyembelih kurban di antara sepuluh hari tersebut, hendaklah ia menahan diri dari larangan tersebut mulai saat berniat. Sedangkan apa yang telah dicabut atau dipotongnya sebelum itu, maka tidak apa-apa.
Adapun hikmah dalam larangan ini, bahwa orang yang berkurban karena mengikuti jama’ah haji dalam sebagian amalan manasik, yaitu bertaqarrub kepada Allah dengan menyembelih kurban maka ia pun mengikutinya dalam sebagian larangan ihram, yaitu: dengan menahan diri dari memotong rambut dan lain-lainnya. Karena itu, diperbolehkan bagi keluarga orang yang hendak menyembelih kurban untuk mencabut atau memotong rambut, kuku dan kulitnya pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.
Hukum ini khusus bagi orang yang hendak menyembelih kurban saja. Sedang keluarganya atau orang yang menjadi wakilnya, tidak ada kaitannya dengan larangan ini. Karena Nabi bersabda: “Dan seseorang diantara kamu hendak berkurban...”, beliau tidak mengatakan: “... atau orang-orang yang diwakilinya dalam berkurban”; dan karena Nabi ketika menyembelih kurban atas nama keluarganya tidak disebutkan bahwa beliau menyuruh mereka juga untuk menahan diri dari larangan tadi.
Apabila orang yang hendak menyembelih kurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambut, kuku atau kulitnya; maka hendaklah ia bertaubat kepada Allah l dan tidak mengulanginya lagi. Tidak ada kafarat (denda) yang harus dibayarnya dan tidak pula menghalanginya untuk melaksanakan kurbannya, sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.
Kalaupun dia mencabut atau memotong sesuatu dari hal-hal tersebut karena lupa, atau tidak tahu, atau karena memang terlepas tanpa sengaja, maka tidak apa-apa. Namun jika memerlukan untuk dicabut atau dipotong; seperti karena terkoyak kukunya sehingga merasa sakit dan perlu dipotong, atau rambutnya masuk ke mata dan perlu dicabut, atau rambutnya perlu dipotong untuk pengobatan luka dan semisalnya; maka dalam keadaan seperti ini boleh dia melakukannya dan tidak apa-apa.
SOAL JAWAB TENTANG KURBAN
1. S: Apa hukum berkurban? Dan bolehkah berkurban untuk orang yang sudah mati?
J: Berkurban hukumnya sunnah mu’akkadah bagi yang mampu, yaitu berkurban atas nama dirinya sendiri dan anggota keluarganya. Adapun mengkhususkan kurban untuk orang yang sudah mati bukanlah sunnah, sebab tidak ada tuntunannya dari Nabi. Setahu kami, tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau berkurban khusus atas nama seseorang yang sudah mati, juga para sahabatnya semasa hidup heliau. Akan tetapi seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya, dan boleh saja kalaupun berniat menyertakan orang yang sudah mati.
2. S: Apakah wakil berkewajiban seperti orang yang mewakilkan (pemilik kurban), seperti tidak boleh mencukur rambut, kuku, dan kulit?
J: Hukum-hukum berkurban hanya berkaitan dan berlaku bagi orang yang mewakilkan. Maksudnya, bila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk menyembelih hewan kurban­nya, maka hukum-hukum berkurban itu hanya berkaitan dengan orang yang mewakilkan, bukan dengan wakilnya.
3. S: Bolehkah seseorang menyisir rambut padahari raya Iedul Adha? Dan manakah yang lebih utama dalam berkurban, seekor domba atau sapi?
J: Seseorang boleh mencabut, memotong, dan menyisir rambutnya pada hari raya Iedul Adha setelah menyembelih kurbannya Dan seekor domba jantan lebih utama dari pada sepertujuh sapi atau unta. Para ulama menyebutkan bahwa berkurban dengan unta atau sapi secara utuh lebih utama dari pada seekor kambing.
4. S: Apa yang disunnahkan untuk daging kurban dalam masalah penyimpanan, sedekah dan hadiah?
J: Allah lberfirman: “Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah ia untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (Surah Al-Hajj : 28).
“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Surah Al-Hajj : 36)
Berdasarkan nash tersebut, orang yang berkurban memakan sebagian darinya dan memberikannya kepada fakir miskin, juga kepada tetangga dan kerabat. Para ulama mengatakan : “Semua yang diberikan kepadaorang-orang kaya adalah hadiah, sedang yang diberikan kepada fakir miskin adalah sedekah.” Ada di antara salaf yang mengutamakan bila dibagi menjadi tiga bagian: sepertiga untuk dirinya, sepertiga lagi hadiah untuk orang-orang kaya, dan sepertiga yang lain sedekah unluk fakir miskin. Dalam masalah ini, tidak perlu terikat dengan aturan seperti tersebut. Tetapi yang penting ada yang untuk dimakan sendiri, untuk dihadiahkan dan disedekahkan.
5. S: Jika seseorang yang hendak berkurban mencabut atau memotong sesuatu dari rambutnya karena 1upa, atau tidak tahu, atau rontok dengan sendirinya tanpa disengaja; apakah hal itu menghalangi dalam melaksanakan kurbannya?
J: Hal itu tidak menghalanginya untuk melaksanakan kurbannya. Sebab mencabut atau memotong rambut, kulit dan kuku adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan berkurban adalah sesuatu yang lain. Akan tetapi jika telah masuk hari yang kesepuluh tersebut dan ia berniat untuk berkurban maka janganlah mencabut atau memotong sesuatu dari rambutnya, kulitnya, atau kukunya. Ini merupakan kebijaksanaan AIlah Ta`ala agar dapat menyertai para jama’ah haji dalam bertaqarrub kepada-Nya dengan menahan diri dari semua larangan ini, sebagaimana orang yang berihram bertaqarrub dengan tidak memotong rambut, kuku dan kulitnya. Kalaupun seseorang melakukannya, yaitu mencabut atau memotong sebagian rambut, atau kuku, atau kulitnya dengan sengaja, maka hal itu tidak menghalanginya untuk berkurban. Tetapi orang tersebut telah berbuat maksiat kepada Rasulullah T bila ia melakukannya dengan sengaja.
6. S: Bagaimana pendapat anda tentang apa yang dilakukan sebagian orang, bila hendak menyembelih hewan kurban ia mengelus-elus atau mengusap punggung hewan tersebut?. Dan bacaan apakah yang disyari’atkan ketika menyembelih?
J: Kami berpendapat bahwa apabila mengelus-elus atau mengusap punggung hewan ketika hendak menyembelihnya dengan maksud untuk menentukan hewan sembelihan tadi adalah amalan yang tidak ada dasar dan tuntunannya. Barangsiapa melakukannya karena untuk bertaqarrub kepada Allah, maka ia telah melakukan bid’ah. Adapun bacaan yang disyari’atkan jika telah menelentangkan hewan kurban, atau hendak meyembelihnya:
(بِسْمِ اللهِ وَالله ُأَكْبَرُ، اللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ)
“Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar Ya Allah (kurban) ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah kurban ini ini adalah atas nama diriku dan ahli baitku”.
Atau dengan mengatakan: “Atas nama si Fulan”, jika kurban itu sebagai wasiat darinya. Yang penting, bahwa penentuan kurban untuk atau atas nama siapa, ini dilakukan ketika menyembelih setelah membaca bismillah dan takbir.
Team kreasi Madinah

HUMOR ISLAMI
By. Mutiara kelas VIIIE
"Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebutnya (dengan bersyukur)"(QS: 93, 11)
Didalam ruang yang sempit ini saya mencoba untuk menguraikan serba singkat mengenai humor secara populer dan hubungannya dengan nilai Islam. Menurut terminologi psikologi humor terdiri dari senyum dan tertawa. Perbedaan diantara keduanya hanyalah dalam gradasinya saja. Menurut Spencer (1860), eksitasi syaraf, secara umum, cenderung untuk menyebabkan reaksi berupa gerakan otot.dimana energi yang dikandungnya bergerak menurut alur tertentu. Dalam hal senyum, jalurnya bermuara pada bagian muka, khususnya mata dan mulut. Lalu Fry (1963) menambahkan bahwa pada saat tertawa tekanan darah meningkat, meningkatkan pulsa dua kali dari 60 menjadi 120 denyutan permenit, tambahan adrenalin akan memasuki aliran darah dan mengakibatkan kontraksi pada otot dada, perut dan bahu. Setelah kembali kepada situasi normal atau dibawah normal, terjadi penurunan tingkat stress.
Selain untuk tertawa itu tidak memerlukan lisensi, demikian menurut Blumenfeld dan Alpern (1986), manfaatnya juga sudah banyak diketahui oleh para akhli psikologi dan kedokteran. Misalnya, tertawa membuat hidup senang, dan jika dilakukan dengan dosis yang teratur menjadi obat yang menyehatkan, baik secara mental ataupun fisik. Lebih jauh para akhli menyatakan bahwa humor dapat membantu memecahkan permasalahan, merupakan katup pengaman jika terjadi agresi, menawarkan perspektif dan keseimbangan, membantu dalam berkomunikasi dan merupakan ekspresi yang kreatif karena tertawa juga sering dipakai untuk mengekspresikan realita walaupun realita itu sendiri menakutkan dan represif. Selanjutnya tertawa juga menyebabkan situasi menjadi hidup dan membawa orang kepada kebersamaan dan membawa keberhasilan pada saat metoda lain menghadapi kegagalan.
Lalu, apa hubungannya dengan Islam? Saya mencoba untuk mencarinya didalam literatur Islam secara terbatas. Dan terus terang sulit untuk mencarinya. Saya tidak bermaksud untuk mensejajarkan kebahagiaan/kenikmatan yang ditimbulkan oleh humor, walaupun diakui kegunaannya seperti uraian diatas, dengan kenikmatan yang langsung diberikan oleh Allah SWT. seperti berlimpahnya buah-buahan, biji-bijian, binatang ternak atau bahan makanan lain, kenikmatan terbebasnya dari rasa sakit, kenikmatan segarnya udara yang kita hirup ataupun nikmatnya melihat pemandangan alam. Tetapi marilah kita renungkan sejenak, bahwa tidak setiap orang bisa menikmati senyum dan tertawa karena berbagai alasan. Kita bisa menikmatinya melalui indera yang dikaruniakan olehNya. Lalu, jika melihat manfaatnya yang tergantung kepada tujuannya dan keridhlaan dalam menyampaikannya, upaya seseorang dalam menciptakan humor yang sehat insya Allah berpahala.
Ada hal yang menarik untuk dikemukakan disini yang bersumber dari Alquran selain dari pahala yang dijanjikan bagi umat yang menyebabkan/menimbulkan/memberikan kebahagiaan duniawiah yang diridhlaiNya kepada sesamanya baik secara langsung ataupun yang tidak langsung, yaitu:
1. Kenikmatan/kebahagiaan
Sumber kenikmatan/kebahagiaan.
Sifat kenikmatan/kebahagiaan duniawiah.
Kewajiban mensyukuri nikmat.
2. Mudharat dari humor
Pelaku penyebab mudharat.
Pahala bagi yang memaafkan.
Kita harus meyakini bahwa atas kehendakNya-lah kita diberikan kebahagiaan sehingga dapat menikmati kesenangan, seperti dinyatakan didalam QS: 76,11 dan QS: 108,1 sambil menyadari bahwa kebahagiaan duniawi itu sifatnya sementara (QS: 13, 26 dan QS: 87,16). Adanya akal yang telah diberikan kepada kita untuk menciptakan buah pikiran, adanya kemampuan melihat dan mendengar, adanya waktu dan tempat , dan adanya mekanisme biologis didalam tubuh kita semuanya bersumber dariNya. Kita satu-satunya makhluk yang bisa menikmatinya. Kemudian, yang sering kita lupa adalah mensyukuri nikmat yang telah diberikan, sesuai dengan QS: 93, 11.
Untuk membuat orang tersenyum atau tertawa diperlukan keakhlian. Humor yang baik tidak boleh menimbulkan korban atau mengorbankan seseorang/sekelompok orang sehingga timbul sakit hati dan penderitaan. Jika ada humor yang demikian sebaiknya kita tidak tertawa, bahkan seharusnya bersedih. Dalam kondisi demikian humor menjadi mudharat. Coba kita simak QS: 4, 148 dan QS: 49, 11. Ayat ayat tersebut pada intinya mengingatkan kita bahwa Allah SWT tidak menyukai ucapan buruk atau memperolok-olokan. Saya perlu mengingatkan kepada diri saya sendiri dan kepada pembaca sekalian bahwa sangsinya berat karena jika tidak bertaubat dapat termasuk kedalam kelompok orang yang zalim. Sebaliknya akan sangat mulialah hati korban yang memaafkan kesalahan orang lain terhadapnya seperti yang dikehendaki olehNya (QS: 4, 149) dan dijanjikan pahala baginya (QS: 42, 40).
Sebagai penutup marilah kita panjatkan do'a syukur kepada Allah Yang Maha Besar atas karunia yang telah diberikan kepada kita dan semoga mengampuni kesalahan yang telah kita perbuat seraya meminta kepadaNya untuk mengingatkan supaya kita selalu berada dijalan yang benar. Amien.


Tanya : Ayah saya menderita suatu penyakit psikologis. Penyakit itu dideritanya selama beberapa waktu. Selama ini ayah saya berobat ke rumah sakit. Namun beberapa kerabat kami menganjurkan agar ayah berobat kepada seorang perempuan pintar (paranormal). Menurut mereka perempuan itu dapat mengobati penyakit seperti yang diderita oleh ayah saya. Mereka juga mengatakan bahwa saya cukup memberikan nama ayah saya kepada perempuan itu. Pasti ia akan mengetahui penyakit yang diderita ayah saya dan akan memberikan obat untuk menyembuhkannya. Apakah kami boleh datang kepada perempuan tersebut ?
Jawab : Bertanya atau mempercayai seorang peramal, dukun atau sejenisnya merupakan perbuatan yang terlarang. Seorang peramal atau dukun yang dirinya mengaku mengetahui hal yang ghaib, sebenarnya ia meminta pertolongan jin untuk mengetahui informasi dan untuk menyembuhkan orang-orang yang datang padanya. Oleh karena itu bertanya atau bahkan mempercayainya adalah perbuatan terlarang. Dalam hadits yang sahih diriwayatkan bahwa rasulullah bersabda :
"Apabila seseorang datang ke tukang ramal dan bertanya sesuatu shalatnya tidak diterima selama 40 malam"
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
"siapa yang datang ke tukang ramal atau dukun dan mempercayai apa yang dikatakan, sungguh ia telah kufur (Ingkar) dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad
shallallahu alai wa sallam."
Banyak hadits yang semakna dengan hadits tersebut. Oleh karena itu siapa saja dilarang mengunjungi dukun atau paranormal. Mereka tidak boleh dijadikan tempat bertanya atau dipercaya. Mereka harus dibawa ke pihak yang berwajib untuk menerima hukuman yang semestinya (dalam negara yang menerapkan hukum islam). Jika kita membiarkan mereka dan tidak membawanya ke yang berwajib maka hal itu akan merusak masyarakat secara keseluruhan karena mendiamkan mereka sama dengan membantu mereka dalam menipu orang-orang yang tidak mengerti yang bertanya dan mempercayai mereka.Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa yang melihat kemungkaran ia harus mencegahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu harus mengubahnya dengan lisan , jika tidak mampu dengan hati,
dan itulah selemah-lemah iman". (HR. Muslim)
Tidak diragukan lagi membawa para peramal dan dukun ke pengadilan atau kepada pihak berwenang (di negara islam) yang dilakukan untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kemungkaran merupakan sebagian upaya merubah kemungkaran dengan lisan. Selain itu hal tersebut merupakan bagian dari sikap tolong menolong dalam kebaikan dan amal saleh.
Semoga Allah memberkati seluruh kaum muslimin dan melindungi mereka dari segala macam kemungkaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar